Chapter 60: Lihatlah Diriku Ini!
Sambil duduk bersila, Randika dengan cepat memasuki alam sadarnya.
Tenaga dalamnya yang bersirkulasi mengalir dengan tenang di seluruh tubuhnya. Dengan arahan Randika, seluruh tenaga dalam itu segera mengalir ke luka-lukanya. Dia merasakan ketenangan luar biasa. Dia benar-benar merasa nyaman dan ingin mendesah nikmat.
Seketika itu juga, Randika melupakan segala sesuatu. Namun, dia segera duduk tegak setelah menyadari sesuatu.
Menerobos batasan?
Ide ini benar-benar muncul secara tidak sengaja. Selama ini dia berlatih untuk mengontrol kekuatan misterius di tubuhnya ini. Meskipun dia mengalami kemajuan di beberapa percobaan pertamanya, dia tidak bisa menjinakkannya sama sekali. Hingga hari ini, dia menyadari bahwa sebelumnya efek dari obat kakeknya ini bisa menenangkan kekuatan misterius ini.
Saat ini Randika berkonsentrasi untuk menyalurkan tenaga dalamnya ini ke kekuatan misterius tersebut. Tenaga dalamnya bagaikan air sungai yang mengalir dengan tenang.
Mata Randika semakin tertutup rapat, dia sekarang sedang berusaha mencampurkan tenaga dalamnya dengan kekuatan misterius itu. Ini adalah momen penentuan. Dengan bantuan obat kakeknya itu, dia mungkin bisa melampaui batasan yang dimilikinya dan bertambah kuat.
Dia sama sekali tidak boleh lengah dan harus fokus 100%.
Tetapi, mimpi buruknya menjadi kenyataan. Dia lupa mengunci kamar tidurnya dan terdengar suara dari pintu!
Hati Randika mengepal, meskipun matanya tertutup rapat namun inderanya yang lain masih berfungsi dengan baik. Seseorang berjalan masuk ke kamarnya tetapi dia tidak bisa membuyarkan konsentrasinya ini. Kalau tidak, tenaga dalamnya yang sudah tercampur itu malah kesedot oleh kekuatan misteriusnya itu dan seluruh tubuhnya akan mengalami luka internal dan bisa-bisa dia mati.
"Kak, kau sedang ngapain?" Suara Hannah yang lembut terdengar.
Hannah datang untuk menjahili kakak iparnya itu, tetapi saat dia membuka pintu kamarnya dia malah melihat Randika yang sedang bersila di atas tempat tidurnya. Wajah kakaknya itu terlihat pucat dan terlebih seluruh tubuhnya mengeluarkan asap putih.
Apakah kakaknya ini berlatih sulap? Bisa-bisanya dia memancarkan asap putih seperti itu?
Hannah semakin penasaran dan menghampiri Randika.
"Hei kak! Oiiii!" Kata Hannah sambil tersenyum.
Sialan!
Randika benar-benar tidak habis pikir, ngapain coba Hannah tiba-tiba datang ke sini?
Keringat dingin mulai membanjiri dahi Randika, situasi ini benar-benar berbahaya. Di saat ini, Hannah berada tepat di depan wajahnya tetapi dia tidak bisa menjawab maupun menggerakan tubuhnya sama sekali. Dia juga dapat merasakan lambaian tangan Hannah yang memeriksa dirinya ini.
"Hmmm…" Hannah merasa mungkin kakaknya ini ketiduran.
Setelah beberapa saat, tidak ada suara dan pergerakan sama sekali.
Apakah adik iparnya itu telah pergi?
Randika segera menghela napas lega, jika tadi Hannah menyentuhnya dan menggeser posisinya maka hidupnya mungkin akan berakhir.
Namun, Hannah tidak benar-benar pergi. DIa malah memutari Randika dan sekarang berada di belakangnya dan sedang memperhatikan asap putih yang keluar dari punggungnya itu.
"Bagaimana bisa asap ini keluar dari tubuhmu?" Hannah mulai bingung. "Kak apakah kau sedang belajar sulap?"
"Hei jawab aku! Jangan cuekin aku terus." Hannah menjadi kegirangan karena dia menemukan sesuatu yang menarik.
Randika masih terdiam membeku, tidak bergerak tidak bersuara.
'Ya Tuhan, semoga dia tidak apa-apain aku.' Pikir Randika.
Randika kembali berdoa sama seperti dia berdoa saat adiknya ipar itu membawa dirinya dan mengebut dengan mobilnya. Dia merasa bahwa adik iparnya ini benar-benar muncul di saat yang tidak tepat.
"Hei kenapa kok cuekin aku terus? Kau masih marah gara-gara aku ngelaporin kamu ke kakak?" Hannah mulai jengkel dirinya dicuekin terus.
Tolong hamba ya Tuhan, biarkan dia pergi!
Hati Randika mengepal, dia benar-benar berharap bahwa adiknya itu tidak menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti biasanya yang dia lakukan.
Meskipun dalam hati Randika terlihat panik, ekspresi mukanya masih datar.
Hannah sudah memperhatikan kakak iparnya sejak beberapa hari yang lalu. Dia hampir mengetahui segala ekspresi yang dimiliki pria ini. Setelah mengamati beberapa saat, Hannah berdiri dan menyentil punggung Randika.
Dalam sekejap, Randika merasa seluruh tubuhnya terikat erat dan tenaga dalamnya hampir buyar. Untungnya Randika masih sempat menyelamatkan dirinya dan melanjutkan prosesnya.
Aku mohon menyerahlah dan keluar dari kamarku!
Randika benar-benar ingin menangis, kenapa kok adik iparnya ini begitu usil.
Hannah merasa kesetrum ketika menyentil Randika. Dia menarik tangannya dengan cepat. Namun, masih belum ada reaksi dari Randika dan itu membuatnya semakin jengkel.
Hannah kemudian bergeser dan melihat Randika yang masih memejamkan matanya dan mencueki dirinya.
Ini membuat dirinya marah. Bisa-bisanya kakak iparnya ini keras kepala seperti ini? Memangnya salah apa dirinya hingga dicuekin seperti ini?
Dengan senyuman nakal, Hannah memutuskan sesuatu.
"Hei lihatlah diriku ini!" Kata Hannah sambil menggoyang-goyangkan bahu Randika dengan cepat!
Randika yang masih mengalirkan tenaga dalamnya itu langsung merasakan aliran tenaga dalamnya menjadi tidak terkendali dan berbalik menyerang dirinya.
"Kau!" Seketika itu juga Randika membuka matanya sambil memuntahkan seteguk darah.
"Ah!" Hannah ketakutan melihatnya. Kenapa dia muntah darah? Aku hanya ingin diperhatikan!
Randika lalu terjatuh di kasurnya dan mulai kejang-kejang. Seluruh tubuhnya mulai melompat-lompat tanpa henti.
"Kak! Kenapa kamu!" Hannah benar-benar ketakutan. Setelah memuntahkan darah sekarang kakak iparnya itu kejang-kejang tanpa henti.
Ketika dia berbaring di kasurnya ini, dia sudah memuntahkan darah 4x dan seprainya menjadi merah. Dia lalu membuka matanya dan melihat Hannah yang sedang panik. Dia lalu berpikir dalam hatinya, Lihat pembalasanku nanti!
"Kak jangan mati kak! Nanti aku dimarahi kak Inggrid kak, aku takut." Hannah benar-benar panik. Bagaimanapun juga, ini semua salahnya.
Sambil memuntahkan darah, Randika berusaha mengatur kembali tenaga dalamnya itu. Namun, tenaga dalamnya yang bercampur dengan kekuatan misteriusnya itu bagaikan kuda liar, susah untuk dijinakkan. Memakai seluruh tenaganya, dia berkata pada Hannah. "Aku belum mati!"
"Oh!"
Namun setelah itu Randika memuntahkan darah lagi untuk ke-6 kalinya. Hannah yang panik tidak tahu harus berbuat apa.
"Kak maafkan aku! Aku tidak bermaksud apa-apa!" Hannah mulai menangis histeris. Randika, sambil terbatuk-batuk, berkata padanya dengan suara pelan. "Panggil…. Ibu… Ipah…"
"Ha? Apa barusan yang kau katakan?" Hannah tidak jelas mendengarnya karena suara Randika yang begitu pelan dan tidak jelas.
Ketika mendengar kata-kata adik iparnya ini, Randika benar-benar jengkel. Dia sedang bertarung dan berusaha bertahan hidup tapi adiknya ini malah tidak bisa diandalkan. Dia lalu memutuskan untuk fokus mengendalikan tenaga dalamnya.
Hannah dengan cepat berkata pada Randika. "Bertahanlah, aku akan memanggil kak Inggrid."
Kemudian dengan secepat kilat Hannah keluar dari ruangan.
Muka Randika benar-benar pucat. Dia tidak menyangka bahwa keusilan adik iparnya ini malah yang akan membunuhnya.
Tak lama kemudian, Inggrid segera masuk sambil berwajah khawatir. Melihat kondisi Randika yang bersimbah darah, dia dengan cepat menghampirinya. "Hei Randika kau baik-baik saja?"
"Ini salahku kak!" Hannah masih menangis. "Aku menggoyangkan tubuhnya sedikit lalu dia tiba-tiba kejang-kejang dan muntah darah."
Inggrid benar-benar cemas, dia tidak punya waktu memarahi adiknya itu. Dia lalu berteriak. "Ibu Ipah! Cepat ke sini!"
Hannah langsung berinisiatif turun dan memanggil Ibu Ipah.
"Bertahanlah, aku akan membawamu ke rumah sakit secepat mungkin." Inggrid menggenggam erat tangan Randika. Sebelumnya dia sudah terluka sekarang dia benar-benar menjadi lemah seperti ini, kenapa kau terus membuatku khawatir?
Inggrid cuma bisa berdoa dan berharap yang terbaik. Tak lama kemudian, Ibu Ipah datang dan terkejut ketika melihat banyaknya darah yang ada di tempat tidur.
"Ada apa ini?"
"Ibu! Cepat kita bawa Randika ke rumah sakit!"
Dengan kerja sama ketiga orang ini, mereka berhasil memindahkan Randika ke dalam mobil. Randika berbaring di belakang di bawah bantal paha Hannah.
Inggrid langsung memacu mobilnya itu dengan cepat, setiap detik sangat berharga untuk Randika.
Ketika mobil itu pergi dari rumah, sepasang mata di kegelapan bersinar terang.
"Apa kau bilang? Dia sekarang sedang sakit?" Ada keterkejutan di tatapan mata Bulan Kegelapan saat dirinya melihat Shadow.
Shadow mengangguk. "Informasiku tidak mungkin salah, Ares sedang terluka parah dan sedang menuju rumah sakit."
"Aneh sekali…. Kenapa dia tiba-tiba terluka?" Bulan Kegelapan mengerutkan dahinya. Bukannya tadi dia baik-baik saja? Bagaimana bisa dia tiba-tiba terluka parah?
"Menurutku ini luka internal." Shadow mulai menyusun teka-teki ini. "Kekuatan Ares terlalu misterius, mungkin ini karena dia berlatih tenaga dalamnya terlalu ekstrim."
"Kita sampingkan dulu bagaimana dia bisa terluka, ini adalah kesempatan terbaik kita untuk membunuhnya!" Tatapan mata Bulan Kegelapan terlihat bersemangat.
Tidak butuh waktu lama buat Inggrid tiba di rumah sakit. Dokter segera membawanya ke UGD, dia juga terkejut ketika melihat Randika. Bukankah dia yang tadi menyelamatkan Pak Ardi?
Dari sang penyelamat menjadi pasien, roda kehidupan memang berputar secepat itu.
Randika hanya bisa tertawa pahit ketika dirinya melihat sosok Inggrid dan Hannah.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah kau sudah merasa baik?" Melihat Randika yang masih berwajah pucat membuat Inggrid tidak bisa berhenti cemas.
"Maafkan aku kak, aku tidak menyangka kau selemah itu… Nanti kalau sudah sembuh kau boleh merabaku sebagai gantinya." Kata Hannah sambil menggenggam erat tangan Randika.
Randika benar-benar tidak habis pikir, hadiahnya begitu menggiurkan!
Keadaan Randika mulai membaik, berkat penanganan dokter dan infus yang dia dapat membuat tubuhnya menjadi stabil. Sekarang dia perlu menenangkan aliran tenaga dalamnya itu.
Melihat bahwa Randika mengangguk, Inggrid meneteskan air mata. "Syukurlah…"
Tapi tidak ada yang tahu apakah Randika mengangguk untuk mengatakan dia baik-baik saja atau setuju terhadap penawaran Hannah.