Chapter 341: Bagaimana Kalau Kamu Menjadi Istriku Saja?
Bandara Cendrawasih, pukul 8 pagi.
Berkat koneksi yang dimiliki Inggrid, ketiga orang ini berhasil mendapatkan visa dalam waktu yang relatif cepat. Setelah melakukan check-in, mereka menunggu kedatangan pesawat mereka selama 30 menit.
Hari ini Hannah dan Viona terlihat sangat cantik. Hannah memakai sweater setengah badan yang menonjolkan bagian perut dan pusarnya, untuk bagian bawahnya dia memakai jeans pendek. Penampilannya sangat fresh dan siap mengarungi negara tetangga!
Sedangkan untuk Viona, meskipun penampilannya tidak seterbuka seperti Hannah, dia memberikan kesan yang unik. Dia memakai set dress mini berwarna hitam yang menonjolkan lekuk-lekuk badannya yang dipadukan dengan jaket crop top jeans!
Mereka bertiga berjalan bersama dengan Randika berada di tengah. Ketiga orang ini menarik perhatian semua orang yang melewati mereka, tetapi mata mereka lebih tertuju pada kedua perempuan tersebut.
Mereka tidak habis pikir kenapa bisa ada 2 perempuan secantik itu di dunia ini? Semua lelaki yang melihat mereka akan terdiam dan tertegun. Mata mereka tidak bisa berhenti menelanjangi Hannah dan Viona. Setelah 2 sosok malaikat itu menghilang dari hadapan mereka, barulah mereka semua sadar dari delusi mereka.
"Gila, dua perempuan itu benar-benar cantik!"
"Benar, sepertinya mereka itu supermodel."
"Aduh tapi ngapain tukang angkut barangnya itu jalan di tengah-tengah mereka? Merusak pemandangan saja."
"Tapi sadar tidak? Kecantikan mereka menutupi kejelekan si lelaki itu!"
"Sialan, seandainya saja pacarku seperti itu aku rasa anakku sudah 10!"
Semua lelaki yang ada di bandara itu mengomentari sosok Hannah dan Viona. Dengan pendengaran super yang dimilikinya, Randika benar-benar puas. Orang-orang iri memang hanya bisa iri dan bermimpi!
Ketika mereka duduk untuk menunggu kedatangan pesawat mereka, tiba-tiba perut Randika bergejolak.
"Aku ke toilet sebentar ya, titip barang-barangku."
"Iya kak, jangan lama-lama lho ya!" Hannah mengibaskan tangannya dan kembali mengobrol dengan Viona. Keduanya benar-benar sudah seperti kakak adik.
Randika segera mencopot tas yang dibawanya dan berlari ke arah toilet. Ketika dia sampai di toilet, dia segera masuk ke bilik toilet. Dari dalam bilik, dia bisa mendengar ada beberapa orang keluar masuk.
Karena lupa membawa HP miliknya, Randika hanya bisa menoleh ke kanan dan ke kiri sampai urusan perutnya ini selesai. Dia sampai membaca berulang kali peringatan tentang bagaimana cara buang air besar yang benar di dinding.
Apabila dia perhatikan baik-baik, dia juga melihat coretan di dinding yang berbunyi. "Jangan coret-coret di dinding apalagi sampai nulis nomor HP untuk open BO!" dan di kanan bawahnya juga ada coretan serta anak panah yang mengarah pada coretan sebelumnya "Dilarang coret-coret ko****!"
Melihat hal ini, Randika tertawa sendiri. Ada-ada saja kelakuan orang Indonesia, memang netizen tidak mengecewakan!
Setelah selesai buang air besar, Randika kembali berjalan menuju tempat duduk mereka sebelumnya. Tetapi ketika dia berjalan, dia melihat seorang polisi berseragam sedang berdiri diam dan mengintai orang. Polisi tersebut adalah Deviana!
Melihat wajah serius Deviana, Randika tidak ingin mengganggunya. Namun ketika Deviana hendak pergi, ada seorang laki-laki berjalan menghampiri Deviana dari belakang.
Di tangan kanannya, terlihat bilah pisau yang sangat tajam.
Gawat!
Randika mengerutkan dahinya dan berlari menuju Deviana sekuat tenaga.
Rudi menatap dendam pada Deviana, tatapan matanya sudah benar-benar dingin. Polisi di depannya itu telah membunuh saudara-saudaranya, hari ini dendam saudara-saudaranya itu akan terbalaskan!
Rupanya orang ini merupakan salah satu dari komplotan penjahat yang berhasil kabur dari insiden ketika Deviana mengepung apartemen berisikan para penyelundup narkoba. Pada saat itu, Rudi tidak berada di apartemen tersebut.
Hari demi hari Rudi menunggu kesempatan untuk balas dendam, dia harus membalaskan dendam saudara-saudaranya itu!
Deviana sama sekali tidak sadar telah diikuti, dia sedang memperhatikan orang-orang yang berjalan di bandara ini. Hari ini dia mendapatkan misi untuk menangkap para penjahat yang hendak kabur dari kota Cendrawasih, dia telah mengerahkan anak buahnya untuk mengamankan semua gerbang.
Tetapi secara tidak terduga, kasus lamanya justru sedang mengincar dirinya dari belakang!
Rudi sudah menggenggam erat pisaunya yang ada di balik jaketnya, pada saat yang sama, langkah kakinya makin cepat dan jarak mereka berdua sudah sangat dekat.
Deviana merasa ada sesuatu yang aneh. Ketika dia menoleh, dia melihat seorang pria hendak menghampirinya dengan pisau tajam di tangan kanannya.
Deviana bergerak dengan cepat, dia langsung meraih pistolnya. Tetapi karena jarak mereka sudah dekat, ayunan pisau Rudi lebih cepat dari reaksi Deviana.
MATI KAU!
Tatapan Rudi sudah terbakar oleh api dendam sedangkan Deviana sudah menutup matanya karena dia sudah tahu bahwa reaksinya itu sudah terlambat. Namun… mereka kedua terkejut dengan kejadian saat ini.
Keduanya merasa bahwa pisau itu gagal bersarang di tubuh Deviana. Ketika mereka perhatikan baik-baik, pergelangan tangan Rudi ditangkap oleh tangan seseorang dan pisau tersebut masih berjarak 2 cm dari perut Deviana.
Randika tersenyum, lalu dia meremas tangannya yang menggenggam tangan Rudi. Secara tiba-tiba, Rudi merasa bahwa tangannya itu remuk dan segera melepaskan dirinya. Sedangkan untuk pisaunya, Randika sudah menginjaknya dan membuatnya menjadi kepingan salju.
Melihat sosok Randika, Deviana benar-benar lega. Sekarang Randika menatap tajam ke arah Rudi.
Melihat bahwa aksi balas dendamnya ini berantakan, Rudi benar-benar marah. Dia menerjang maju ke arah Randika tanpa pikir panjang, dia akan membunuh siapa pun yang berani menghalangi rencananya.
Deviana segera kembali meraih pistolnya, tetapi tangan Randika menyuruhnya untuk tetap diam. Ketika Rudi sudah berada di jangkauannya, kepalan tinju Randika sudah bersarang di wajahnya dan dia pun terpental.
Para bawahan Deviana sudah berlari menuju lokasi dan menangkap Rudi yang terkapar kesakitan di lantai.
"Tangkap dia!" Teriak Deviana.
Semua orang yang ada di bandara langsung berhenti beraktivitas dan melihat adegan ini.
"Kamu berhutang budi lagi padaku." Kata Randika sambil tersenyum. "Lama-lama hutangmu ini jadi bukit lho."
Deviana menghela napasnya. "Kenapa kamu bisa ada di bandara?"
"Aku berniat untuk pergi liburan." Randika kembali tersenyum. "Akhir-akhir ini aku sibuk jadi aku ingin bersantai-santai."
"Enak sekali hidupmu, aku jarang liburan." Kata Deviana.
"Kalau kamu sudah capek dengan pekerjaanmu, bagaimana kalau aku memberi tahumu pekerjaan yang menyenangkan?" Randika tertawa dan berbisik padanya. "Bagaimana kalau kamu menjadi istriku saja?"
"Apa maksudmu!" Mata Deviana hampir copot dari kantongnya.
"Bukankah menjadi istriku akan menjadi pekerjaan yang menyenangkan? Kita bisa pergi ke mana pun yang kita mau." Randika mengelus dadanya. "Apalagi kalau anak kita nanti sudah lahir, kita bisa pergi liburan bersama-sama."
"Siapa… siapa yang mau jadi istrimu!" Wajah Deviana sudah benar-benar merah, suaranya sendiri sudah seperti orang gagap.
"Tentu saja kamu, bukannya aku sudah melindungimu berkali-kali selayaknya seorang suami?" Kata Randika sambil tersenyum. "Kalau kamu menikah denganku, aku anggap hutang budimu itu lunas semua."
"Aku tidak berhutang padamu."
"Kamu memang tidak pandai berbohong. Barusan saja aku menyelamatkanmu, bisa-bisanya kamu masih membantahnya?" Randika menghela napasnya.
"Apa susahnya mengakui kebaikan orang? Jangan-jangan kamu malu mengakuinya karena kamu menyukaiku?"
Mendengar kata-kata ini, wajah Deviana kembali memerah. Namun dia tahu, semakin banyak berdebat dengan Randika, semakin gila dirinya. Tanpa berkata apa-apa, dia pergi meninggalkan Randika.
Melihat tubuh Deviana yang semakin menghilang, Randika menghela napasnya. Meskipun tubuhnya itu tertutup oleh baju polisi, kemolekannya tidak dapat ditutupi. Sayang sekali dia masih belum bisa merasakannya secara langsung.
Randika hanya bisa berharap bahwa momen itu akan tiba suatu saat nanti.
Setelah menyelesaikan kasus Deviana, akhirnya Randika kembali ke tempat duduk Hannah dan Viona.
"Kak, kenapa kakak lama sekali?" Hannah kehabisan kata-kata. "Kalau kakak sakit perut, sudah tidak usah ikut pergi."
"Sudah Han, yang penting Randika sudah ada di sini." Viona berusaha menenangkan. "Sebentar lagi pesawat kita datang."
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya mereka mulai masuk ke dalam pesawat mereka.