Chapter 48: Bocah Sepertimu Lebih Cocok di Rumah dan Menyusu!
Tak lama kemudian, sejumlah mobil polisi telah tiba. Samuel dan teman-temannya telah ditangkap.
Melihat para penjahat itu tertangkap, Randika mengikuti Deviana dengan muka cemberut.
"Hei mana hadiahku!" Randika masih berharap bisa meremas-remas dada itu.
"Aku tidak menjanjikanmu hadiah semacam itu." Teriak Deviana dengan malu.
"Kalau begitu, traktir aku makan." Kata Randika. "Aku harus membuat banyak kenangan bersamamu sebanyak mungkin karena tidak ada hati wanita yang tidak bisa kutembus. Suatu hari nanti, kau akan menjadi milikku!"
Tentu saja, kata-kata terakhir Randika ini tidak dia ucapkan.
Kali ini Deviana tidak menolak permintaan Randika dan membawanya ke depot masakan Cina.
"Cobalah nasi gorengnya ini." Randika menawarkan makanannya ke Deviana.
"Hmm! Enak juga ya." Deviana mengangguk setuju.
Randika hanya menatap Deviana dalam-dalam. Deviana yang tersipu malu itu bertanya, "Kenapa kau tidak makan?"
"Aku hanya ingin memakan dirimu." Randika terpukau dengan mulut kecilnya Deviana yang menggiurkan itu. Dia juga suka Deviana yang santai seperti ini.
"Dasar mesum!" Deviana tidak habis pikir pria ini masih tidak menyerah untuk meraba dirinya.
"Lho sungguhan, yang aku inginkan hanya dirimu." Mata Randika mengatakan segalanya, dia lalu tersenyum. "Sebenarnya dari dulu aku sudah tertarik padamu."
Deviana tidak bisa berkata apa-apa sementara waktu. Jika Randika tidak bertingkah seperti om-om genit seperti itu, sebenarnya dia adalah pria yang lumayan tampan.
"Aku tidak percaya kata-katamu." Kata Deviana.
"Benarkah? Perlu aku membuktikannya?" Randika menjulurkan tangannya.
"Jika kau menyentuhku, kupotong tanganmu itu." Deviana menatap tajam Randika.
"Padahal kau tadi menjanjikannya padaku." Kata Randika dengan nada sedih.
"Maksudku aku berjanji membayarimu makan." Deviana menyodorkan piring nasi goring Randika. "Nih cepat makan hadiahmu ini. Nanti keburu dingin dan tidak enak."
Menyedihkan! Situasi menyedihkan apa ini?
Randika merasa benar-benar bodoh ketika dia berhasil ditipu oleh Deviana.
Bagaimana mungkin perempuan polos sepertinya tiba-tiba bisa melawan dirinya?
...…..
Randika, yang tidak bisa meraba Deviana, pulang dengan keadaan sedih. Saat dia sampai, dia melihat Hannah.
Hari ini dia memakai baju yang lebih berani lagi daripada kemarin. Dengan hotpantsnya, kakinya yang putih dan panjang itu menjadi senjata berbahaya. Belum lagi dia memakai atasan Cropped top yang menonjolkan perutnya yang rata dan pusarnya. Semua ini membuat Hannah lebih cantik lagi daripada kemarin.
Benar-benar seksi!
Tatapan mata mesum ini disadari oleh Hannah tetapi karena dia adalah kakak iparnya, dia tidak terlalu mempedulikannya. Dia lalu menghampiri Randika.
"Wah pagi-pagi dandan begini mau ke mana?" Tanya Randika sambil tersenyum.
Aslinya Hannah malas berurusan dengan Randika tetapi dia mau tidak mau harus akrab dengannya. "Aku mau ke tempat yang asyik, mau ikut?"
"Di mana?" Randika penasaran.
"Ikut saja aku, aku jamin tempatnya menyenangkan!" Hannah langsung menggandeng Randika.
Dengan pakaian seksi begini apakah dia ingin merayu om-om? Mungkinkah adik iparnya itu perempuan semacam itu?
"Hannah, kau tidak boleh pergi ke tempat yang aneh-aneh." Randika berusaha menjadi orang dewasa.
"Tenang saja, kita tidak dalam masalah kalau tidak ada yang tahu kan? Lagipula kita hanya akan pergi belanja." Hannah sudah tidak ingin berdebat lagi dan menyeret Randika masuk ke mobilnya.
Mobil sport Hannah benar-benar bagus dan mulus.
Randika hanya terdiam di mobil, dia merasa malu dengan pikiran mesumnya sebelumnya. Adik iparnya ini hanya ingin ditemani belanja tetapi dia beranggapan yang aneh-aneh.
Hannah melirik Randika yang duduk di sampingnya itu dan tertawa dalam hati. Hari ini akan kubuat kau jantungan!
Mobil lalu melaju ke arah selatan, menuju perbatasan kota.
Randika merasa ada yang aneh, seharusnya tidak ada mall di arah mereka tuju.
"Hei, sebenarnya kita mau ke mana?" Tanya Randika.
"Tentu saja jalan-jalan!" Setelah itu, Hannah memacu mobilnya dengan cepat. Dari 30 km/jam langsung dia tancap menjadi 120 km/jam dalam beberapa detik!
Randika tersentak ketika mobil itu tiba-tiba melaju cepat. Dia langsung memasang sabuk pengamannya erat-erat. Adik iparnya ini ternyata gila juga, bagaimana bisa perempuan secantik ini ternyata suka balapan?
Ya tuhan kenapa aku harus mengalami ini lagi? Randika teringat saat dia naik taksi sehabisnya dia kembali dari kampung halamannya. Randika lagi-lagi khawatir dengan nyawanya.
"Hahaha wajahmu lucu juga!" Hannah yang melihat wajah panik Randika tertawa puas, dia juga merasakan sensasi enaknya balas dendam. Siapa suruh merabaku!
"Biasanya aku dan kakakmu lebih cepat lagi." Randika tidak mau terlihat lemah di hadapan adiknya ini.
"Ahhh bohong kamu!" Melihat Randika yang masih sok kuat, dia kembali memacu mobilnya dan sekarang telah mencapai 140 km/jam. Lalu di saat yang sama, Hannah dengan sengaja membuka jendela Randika dan angin kuat berhembus melewati Randika.
Tuhan tolong selamatkan hambamu ini!
Di saat yang sama, mobil ini menuju gunung yang ada di perbatasan kota.
Jalanan menuju gunung ini banyak tanjakan dan banyak belokan tajamnya. Belum lagi tidak ada pembatas jalan di sisi jalan. Kedua hal ini sudah banyak membuat kecelakaan cukup sering terjadi. Tapi para pembalap liar menamakan jalan ini jalan menuju kematian.
Melihat bahwa mereka sampai, Randika menghembuskan napas lega dan tidak lupa berterima kasih dengan Yang Maha Kuasa.
Lalu dia melihat sekelilingnya, banyak orang berkumpul dan banyak mobil balap parkir. Di manakah dia sebenarnya berada?
Randika tidak mengerti daerah ini jadi dia tidak tahu bahwa mereka telah tiba di balapan liar yang diadakan di gunung tersebut.
Orang-orang di sini minum di siang bolong sambil menikmati alunan musik rock, perempuan-perempuannya terlihat nakal dan cantik-cantik.
"Tempat apa ini?��
"Tentu saja ini tempat balapan mobil." Kata Hannah sambil tersenyum.
Randika menoleh padanya dan berpikir dalam hati, déjà vu?
Randika benar-benar dibuat pusing oleh adik iparnya ini. Jika adiknya ini benar-benar ingin balapan, mengingat medan balap yang akan dilaluinya dan keselamatan hidupnya, Randika lah yang harus menyetir.
"Kau ingin balapan?" Randika penasaran dan masih bingung apakah dia harus mencegahnya atau ikut saja dengan pengaturannya.
"Kamu takut?" Hannah tersenyum.
"Takut? Mana mungkin aku takut!"
"Hahaha sudah tidak usah akting terus, aku tahu kalau kamu takut." Hannah menepuk bahu Randika. "Tidak usah khawatir, aku di sini hanya ingin menikmati suasana."
Randika lega ketika mendengarnya, lebih baik menghindari masalah yang tidak perlu.
"Hei cantik!" seorang pemuda menghampiri mereka sambil mengunyah permen karet. Dia tersenyum ke Hannah. "Kau ingin balapan denganku?"
Hannah mengerutkan dahinya dan membalasnya dengan suara dingin. "Tidak perlu, hari ini aku hanya ingin melihat-lihat."
"Wah ternyata kamu penakut toh?" Ejek pemuda itu. "Jika kau pernah ke sini jadi kau tahu arti balapan terhadap kita para pembalap. Masuklah ke mobilmu sayang dan tunjukan kalau kau pantas berada di sini, kalau tidak pergi saja dari sini."
"Hei hei jangan menakut-nakuti perempuan seperti itu dong." Kata temannya pemuda itu.
Pemuda itu hanya tertawa dan melihat Randika yang ada di samping Hannah. "Sayang sekali wanita cantik sepertimu bersama orang jelek seperti itu. Apa bagusnya coba lakimu itu? Sini ikut aku saja dan kuajari apa arti laki itu sesungguhnya."
Bajingan, maksudmu aku tidak cukup ganteng?
Randika marah besar ketika mendengarnya dan matanya menjadi merah. Kalau kalian ingin bertanding, mari kita bertanding!
"Lho ibumu mana?" Randika langsung pasang badan. "Bocah sepertimu lebih cocok di rumah dan menyusu."
"Oh? Kalau begitu orang tua sepertimu lebih cocok berbaring di kuburan?" Pemuda itu awalnya terkejut Randika berani melawannya, tapi dia tertawa ketika memperhatikan perawakan Randika dan mengejeknya balik.
"Bahkan dalam keadaan mati pun aku bisa mengalahkan bocah sepertimu!" Kata Randika dengan nada mengejek.
"Oya? Mari kita buktikan pak tua!" Pemuda itu lalu menghampiri Randika dan berkata tepat di wajahnya. "Jangan salahkan aku kalau tulang rapuhmu itu patah!"
Pemuda itu benar-benar tidak pandai memilih lawan, tentu saja Randika dengan senang hati melayaninya!