Chapter 55: Aku Berharap Bisa Bertemu Denganmu Lagi
Mendengar teriakan itu, semua orang yang ada di koridor menjadi panik.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Randika menghampiri dan melihat ada seorang lelaki tua yang tergeletak di lantai. Dia terlihat sudah tidak bernyawa.
"Pak Ardi, kenapa kau meninggalkan kami?" Salah satu kenalan pasien menangis dengan keras sambil memegangi guru semasa SMAnya itu.
Semua orang termasuk para perawat terdiam. Pak Ardi ini mempunyai riwayat penyakit jantung, sewaktu-waktu dia bisa terkena serangan jantung. Sangat sulit memangnya untuk merelakan orang yang telah membesarkan kita.
Randika mengerutkan dahinya. Pak Ardi ini memang terlihat tidak bernyawa tetapi menurut dirinya, dia masih bisa dihidupkan kembali.
Saat ini, detak jantung Pak Ardi sudah berhenti. Satu-satunya cara adalah membuatnya berdetak kembali dan dia akan berjalan kembali seperti sedia kala.
Pada saat ini, perawat cantik yang digoda Randika tadi tiba. Pertama dia langsung mengecek denyut nadi Pak Ardi, kemudian dia berkata dengan nada menyesal. "Maafkan kami, beliau sudah tiada."
Kemudian, dia mengambil handphonenya dan memberi pesan kepada temannya untuk membawa brankar agar bisa memindahkan jenazah korban.
"Dia masih hidup." Tiba-tiba, suara itu terdengar dari arah kerumunan. Semua orang langsung melirik Randika.
"Kau memangnya dokter?" Para penonton langsung merasa Randika ini sedang bercanda.
"Hei, aku tahu kalau kau juga tidak dapat menerima kenyataan ini. Tetapi kalau kau ingin bercanda tolong lihat waktu yang tepat. Semuanya sedang berduka." Kata orang di sampingnya. "Sudahlah biarkan dia pergi dengan tenang."
Membiarkannya dia pergi? Padahal jelas-jelas orang ini bisa diselamatkan?
Randika tertawa dalam hati. Dia segera menghampiri korban. "Aku yakin orang ini masih bisa diselamatkan."
Kali ini semua orang langsung marah-marah. Orang yang menegur Randika tadi langsung menyaut. "Orang itu sudah mati, tidak ada denyut nadinya. Bisa-bisanya kau masih berkata seperti itu!"
"Benar, kau sudah gila ya?"
Perawat cantik itu menyadari bahwa pria yang melantur itu ternyata Randika, orang yang menggodanya tadi. Dia benar-benar tidak habis pikir, bahkan orang mati pun dia anggap sebagai lelucon?
"Orang ini telah meninggal dunia. Jangan menyimpulkan sendiri." Nada suara perawat itu berat dan wajahnya benar-benar serius.
Randika mengerutkan dahinya dan mengatakan. "Kalian benar-benar membiarkannya mati begitu saja? Dia belum benar-benar mati, kalau kita membiarkan kondisinya seperti ini maka dia akan mati sungguhan."
"Hanya seorang dokter yang bisa menentukan hidup dan mati pasien. Sesuai hukum negara yang berlaku, tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk memutuskannya." Kata perawat itu.
"Masalahnya, kau hanyalah seorang perawat. Bagaimana mungkin kau memiliki hak untuk menentukan orang itu telah mati atau tidak?" Randika langsung mengacuhkan semua orang dan memeriksa denyut nadi Pak Ardi, yang denyutnya sangat lemah. Jika dia ragu-ragu seperti sebelumnya, orang ini akan benar-benar mati.
"Kalian tega melihat orang ini mati tanpa berjuang sama sekali?" Randika menyapu pandangannya. "Aku tidak rela dia mati begitu saja. Sekarang cepat carikan aku jarum perak, jarum yang digunakan untuk akupuntur. CEPAT!"
Setelah berkata seperti itu, Randika dengan cepat mengumpulkan tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke Pak Ardi ini.
Melihat seorang awam menangani pasiennya, perawat ini dengan marah mengatakan. "Apa yang kau lakukan!?"
"Jika kau di sini hanya untuk mengomel pergi sana, jangan menggangguku menyelamatkan nyawa." Kata Randika dengan dingin. "Bukankah rumah sakit ada untuk menyelamatkan nyawa orang? Jelas orang ini masih bisa diselamatkan tetapi jika kau lelet seperti ini, dia akan mati sungguhan."
Saat ini banyak sekali orang yang berkumpul di koridor. Semua penasaran dengan drama yang telah terjadi.
"Pak Ardi memang sudah sakit-sakitan sebelum ini, mungkin ini memang waktunya dia." Beberapa orang mulai bergumam.
"Siapa pemuda itu? Dokter?" Beberapa orang mulai mencurigai Randika.
Perawat cantik itu masih terkejut oleh kata-kata Randika. Dia benar-benar marah olehnya. Oke kalau kau ngomong dia belum mati, mari kita lihat bagaimana caranya kau menyelamatkannya!
"Mana jarum akupunturku? Kok belum datang?" Randika membentak ke perawat tersebut. Jarum miliknya patah saat dia membawanya ke markas Kevin kapan hari dan belum sempat menggantinya.
Meskipun dia sudah memberikan pertolongan pertama dengan tenaga dalamnya, efek yang diberikannya dibandingkan dengan jarum akupuntur sudah bagai bumi dan langit. Dengan jarum tersebut, Randika bisa memastikan bahwa nyawa orang tua ini akan terselamatkan.
Perawat itu menggigit bibir bawahnya, dia lalu berdiri dan berjalan menuju ruangannya. Tak lama kemudian, jarum yang diminta Randika sudah siap.
"Ini." Perawat itu memberikannya dengan ogah-ogahan.
"Sudah steril?"
"Belum." Perawat itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Ambilkan aku korek api." Waktunya sudah mepet dan perawat ini masih bisa santai. Untungnya, perawat ini membawa korek api.
"Nyalakan cepat! Atau aku juga perlu mengajarkannya?" Kata Randika dengan nada dingin.
Perawat itu marah ketika Randika membentaknya terus-menerus, tetapi dia masih menyalakan korek apinya itu. Randika dengan cepat mensterilkan jarumnya dan menyalurkan tenaga dalamnya ke jarum. Setelah itu, dia langsung membuka baju Pak Ardi dan menusukannya di jantungnya!
Meskipun orang-orang menjadi histeris, Randika tidak mempedulikannya dan masih tetap fokus.
Dengan cepat Randika menusukkan beberapa jarum dan menyalurkan tenaga dalamnya kembali ke jarum tersebut. Saat ini, hanya ada tubuh Pak Ardi di matanya.
Berkat ajaran kakeknya, kemampuan Randika menggunakan teknik akupuntur setara dengan seorang dokter. Jadi dia yakin bisa menyelamatkan orang ini.
Meskipun begitu, dia tidak begitu menguasai teknik akupuntur ini jadi dia membuang terlalu banyak tenaga dalamnya.
Ketika jarum terakhir dia tusukkan, semua jarum itu membentuk sebuah jejak yang aneh di daerah jantungnya. Namun, masih tidak ada tanda-tanda pergerakan dari Pak Ardi.
"Seharusnya ini sudah cukup." Randika menyeka keringat di dahinya dan tertawa pahit dalam hatinya. Memang teknik pengobatan ini bukan keahliannya, coba saja Safira ada di sini.
Di sisi lain, Pak Ardi masih tergeletak di lantai.
Semua orang yang menyaksikan ini mulai mengomel masing-masing. "Tuh kan, orang itu benar-benar gila. Mana bisa membangkitkan orang yang sudah mati?"
"Gitu awalnya dia yakin bisa menyelamatkannya, ngomong doang mah gampang! Sudahlah biarkan Pak Ardi pergi dengan tenang."
"Untung keluarga Pak Ardi belum melihat drama ini, bisa-bisa pemuda itu sudah dihajar habis-habisan."
Perawat cantik itu hanya menatap tajam ke arah Randika. Dia lalu bertanya dengan nada dingin. "Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
Randika malah bertanya. "Jam berapa sekarang?"
"23.15"
Randika hanya mengangguk dan tidak menjawab. Dia memejamkan matanya.
"Hei, sudah puaskah kamu menjadi dokter abal-abal? Aku masih perlu memproses tubuh orang ini untuk keluarga mereka." Perawat itu mulai jengkel ketika Randika mulai mengacuhkan dirinya.
Para penonton mulai marah pada Randika. Dia sudah memberikan harapan palsu kepada mereka, sekarang pemuda itu malah duduk sambil memejamkan matanya tanpa menjelaskan apa-apa?
Pada saat ini, beberapa dokter tiba di lokasi. Perawat cantik itu berdiri dan membiarkan para dokter untuk mengambil ahli. Di saat dokter itu hendak menyentuh tubuh Pak Ardi, Randika langsung mencengkram erat tangan sang dokter.
"Tunggulah satu menit." Kata Randika.
Dokter itu mengerutkan dahinya. "Pak, ini adalah rumah sakit dan aku adalah dokter."
Di saat dia berusaha kembali menyentuh tubuh Pak Ardi, Randika kembali mencegahnya.
"Apa maksudmu?" Dokter itu menjadi marah.
Para penonton pun menjadi marah pada Randika. Dokter telah tiba, biarkan para profesional yang bekerja.
"Lepaskan tanganku!" Dokter itu mulai tidak terima.
Randika langsung melepasnya sambil mendorongnya, dokter itu langsung terjatuh.
Seketika itu juga, dari kejauhan muncul suara panik. "Ayah! Di mana kamu!"
Anak dari Pak Ardi segera menghampiri ayahnya. Dia mendorong-dorong para penonton sampai dirinya berada di depan. Seketika itu juga dia melihat bahwa ayahnya setengah telanjang dan area dadanya penuh dengan jarum.
"Apa yang kau lakukan pada ayahku!" Sang anak langsung ingin menghajar Randika.
"Diam! Ayahmu akan bangun dalam 20 detik." Randika hanya berdiri dan berkata dengan wajah datar. "Sekarang tinggal 15 detik."
"Orang ini masih saja berkhayal."
"Sudah tangkap saja orang itu dan jebloskan ke penjara."
"Sudah cukup sandiwaramu." Perawat cantik itu sudah tidak tahan dengan semua drama ini.
Namun, di saat ini terdengar suara batuk dari lantai.
Dalam sekejap seluruh koridor menjadi hening dan semua mata fokus pada Pak Ardi yang terbaring di lantai.
Mereka melihat Pak Ardi yang membuka matanya sambil terbatuk. Dia memperhatikan sekelilingnya dan bertanya pada anaknya. "Ada apa ini kok ramai-ramai?"
"Ayah? Ayah!" Sang anak langsung menangis di tempat.
"Bajingan, dia benar-benar hidup!" Semua orang tidak percaya akan keajaiban yang terjadi di depan mata mereka.
Para dokter lebih terkejut lagi sedangkan perawat cantik itu hanya melongo seperti orang bodoh. Pemuda itu benar-benar memiliki kemampuan untuk membangkitkan orang mati?
Setelah Randika melepaskan jarum-jarumnya, sang anak langsung memeluk erat ayahnya. "Syukurlah ayah baik-baik saja."
Randika dengan santai berjalan keluar sambil menyerahkan jarum itu ke perawat cantik itu. "Tolong bereskan ini."
Melihat Randika yang meninggalkan tempat, para penonton itu merasa kagum dengan sentuhan ajaib Randika itu.
Mereka langsung membukakan jalan pada sang penyelamat!
Sudah kodratnya kalau ajal menjemput maka kita hanya bisa pasrah. Tetapi pemuda itu tidak menyerah dan berhasil menyelamatkan nyawa Pak Ardi!
Mata si perawat cantik dipenuhi dengan kebingungan. Ketika dia sadar dan mencari Randika, ternyata pemuda itu sudah menghilang.
"Benar-benar mukjizat, bocah itu hanya pakai jarum dan dia berhasil menyelamatkan Pak Ardi!" Semua orang mulai menyebarkan berita menghebohkan ini.
"Orang itu benar-benar luar biasa…." Perawat cantik itu lalu ingat bahwa dia telah digoda olehnya sebelumnya, dengan cepat dia tersipu malu.
Dia menyesal tidak memberikan nomornya kepada Randika.
Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi...